Selasa, 23 April 2013

Macapat Mijil

Kearifan tradisional Jawa yang sangat sering disikapi secara kurang arif ada beberapa diantaranya :

1. Alon alon waton kelakon. (Perlahan, asalkan terlaksana) Dicemoohkan kepada saudaranya yang muncul kuat kejawaannya. Kebetulan dia sangat sering terlalu banyak pertimbangan untuk mengambil tidakan. “Nah lho, ini dia puteri Solo, lembuut alon alon yuuuu ” cemooh yang lain.

Padahal petuah : Alon-alon waton kelakon, dimaksudkan untuk meneguhan dan memperingatkan agar setiap rancangan harus ditindak lanjuti pelaksanaan. Biarpun tidak segera selesai tetapi pastikan (waton=aturan, keharusan) harus terjadi dan terselesaikan. Sementara orang Jawa sendiri kadang memahami kata “waton” dalam arti “asal saja”, maka menjadi berbunyi “Kerjakan pelan-pelan , terjadilah asal-asalan saja tak mengapa!” .

2. Wani ngalah luhur wekasane.(Berani mengalah, mulia akhirnya). Kakak saya ketiga, suami isteri dan anak-anaknya selalu menjadi paling siap untuk “mengalah” mana kala satu dua fasilitas atau apa ada yang kurang tersedia dalam acara pertemuan keluarga besar ortu kami tempoh hari. Sikap itu tentu sangat sering menjadi bahan cemoohan kami keluarga besar. Dan tentu kata-kata wani ngalah luhur wekasane muncul jadi “bahasan”.

Padahal petuah “Wani ngalah” itu terletak dalam konteks petuah yang luar biasa targetnya. Dalam tembang mocopat dengan gurulagu “Mijil”, petuah itu ada pada bait ketiga, dan sebaiknya tidak dipisahkan dari enam bait yang ada.

    Bait kesatu : Tujuan petuah: Inilah jalan untuk menjadi relevan dan signifikan ; (guna.manfaat.relevan; sakti,hebat,signifikan)

    Bait kedua : Tuntutan pertama dari petuah : Harus rendah hati, tahu diri, tahu kekuatan dan kelemahannya.

    Bait ketiga : Tuntutan kedua dan penjelasan dan pelaksanaan tuntutan pertama yaitu : “Wani ngalah” dengan catatan melihat dikemudian bukan yang serta merta sesaat. Nantinya (wekasanne) akan lebih mulia.(luhur) Sabar berikan peluang pertama untuk orang lain. Target kita jangka panjang.

    Bait keempat : Syarat berikut: Dengar baik baik kritik dan peringatan.

    Bait kelima : Syarat berikut : Penghalang disiasati

    Bait keenam : Syarat berikut : Hindari pertengkaran mulut, gossip atau omongan buruk.

Saya sangat percaya bahwa kakak saya ketiga suami isteri memang berhasil mengasuh putera puterinya paling sukses diantara kami: Lima puteranya: Tiga berrumah tangga dan sukses, dua yang lain satu menjadi pastor satu menjadi biarawati.

(Teks aseli Bahasa Jawa, Tembang Macapat / Mijil):

Dedalane guna klawan sekti (Cara-cara untuk heibat/relevan dan saksi/signifikan)
Kudu andhap asor (Harus rendah hati, tahu diri)
Wani ngalah luhur wekasane (Berani mengalah demi target jangka panjang yg luhur)
Tumungkula lamun den dukani (Menunduklah kalau kena marah =dengar kritik)
Bapang den singkiri (Penghalang jangan di tantang, dating disiasati)
Ana catur mungkur. (jangan ada pertengkaran mulut, gossip dsb)

Dari dugaan saya tembang Mijil ini kutipan dari Kumpulan Ajaran Wulangreh dsb karya PBIV, 1820. Tetapi pagi tadi seorang teman menjelaskan seperti penjelasan warga Pura Mangkunegaran Surakarta bahwa : menurut ahli kerawitan MN cakepan Mijil ini tidak diketahui pengarangnya tetapi sudah lama dikenal dan ditembangkan. Inilah ciri Kearifan Tradisional, ditradisikan dari mulut ke mulut banyak kali dengan kemasan tembang).

3. “Nglurug tanpa bala, unggul tanpa ngasorake, menang ora ngalahake”. “Menyerang invasi kedaerah lawan tanpa membawa pasukan, Unggul tanpa merendahkan, Memenangkan tidak mengalahkan” . (Serat Wedatama, MNIV,1881.) Sepintas seperti senada dengan semboyan “Wani ngalah” tersebut diatas. Tetapi senada saja dalam kata-kata “menang-kalah” tetapi berbeda nada dan substansi pesan.

Dalam Pesan ini lebih merupakan “Strategi” pemenangan. Sementara semboyan “Wani Ngalah” lebih mengajak dalam memilih target. Yaitu target jangka panjang bukan yang sesaat.

Strategi pemenangan secepatnya, juga target terdekatpun boleh, tetapi caranya tanpa kekerasan. Atau apa yang dalam bahasa Eropa Kuno : Fortiter in re sed suaviter in modo. Teguh/kuat/tegas dalam perkaranya tetapi lembut dalam cara.

4. “Ngono ya ngono ning aja ngono” , Mau begitu juga boleh tapi jangan sampai begitu. Pesan ini sebenarnya sama sebangun dengan “Fortiter in re sed suaviter in modo”. Dalam licinnya keseharian dapat dicemoohkan sebagai sikap plin-plan, atau tidak punya pendirian/prinsip. Sebab cara yang lembut itu sukar dilaksanakan pada umumnya untuk sikap tegas dalam berargumentasi.

5. Kehidupan itu tidak selalu bisa disikapi hitam-putih. Kehidupan tidak bisa selalu diukur dengan hitungan dan perangkaan prosentasepun, tidak selalu dapat. Tetapi sejak zaman filosof Yunani kuno menyarankan kearifan mencari “jalan tengah keemasan”, Via aurea media.